VOTENEWS.ID, Pulau Bangka sejak lama dikenal sebagai salah satu daerah penghasil timah terbesar di dunia. Sejarah panjang pertambangan di pulau ini tidak hanya meninggalkan jejak berupa lubang tambang, smelter, dan sisa-sisa bijih, tetapi juga infrastruktur transportasi yang pernah menjadi urat nadi produksi. Salah satu peninggalan bersejarah itu adalah jalan trem yang membentang di Pangkalpinang pada masa kolonial Belanda.
Mekanisasi pengelolaan timah di Bangka mulai diperkenalkan pada masa pemerintahan Residen Bangka Doornik W (1918–1923). Pada tahun 1923, pemerintah Hindia Belanda membangun pusat peleburan timah modern di kawasan Puput, Pangkalbalam, dengan menggunakan oven pendingin air (oven vlaanderen). Teknologi ini menggantikan tungku tradisional atau tanur Cina yang sejak abad ke-18 digunakan dalam proses peleburan.
Selain pada peleburan, mekanisasi juga diterapkan dalam sistem transportasi. Belanda membangun jalur trem atau kereta api mini untuk mengangkut bijih timah dari tambang darat menuju smelter. Kehadiran trem menjadi solusi yang lebih efisien dibandingkan metode lama yang masih mengandalkan tenaga pikulan manusia atau kereta dorong yang oleh masyarakat Bangka disebut kereta surong.
Peta Resident Bangka en Onderh. tahun 1928–1929 menunjukkan jalur trem yang menghubungkan kantor perusahaan timah (Kantoor v/d Tinwinning) ke Kampung Ampui, lalu ke Pangkalbalam, hingga ke gudang KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) dan pusat peleburan timah. Jalur ini berfungsi untuk mengangkut bijih timah serta pekerja tambang dari lokasi tambang menuju smelter.
Setelah dilebur dengan oven berpendingin air, timah dicetak menjadi balok-balok dan dikirim ke Singapura untuk dipasarkan ke berbagai belahan dunia. Tak heran, jalan trem memiliki peran vital dalam menghubungkan tambang, peleburan, hingga distribusi internasional.
Selain jalur utama tersebut, ada pula jalur trem yang menghubungkan tambang darat di Kampung Terak menuju kantor perusahaan timah, kemudian tersambung ke smelter di Pangkalbalam. Bukti keberadaan jalur ini pernah terlihat dari sisa rel yang ditemukan masyarakat hingga dekade 1980-an. Sayangnya, kini rel-rel itu telah hilang, berganti fungsi menjadi jalan raya.
Transformasi jalan trem menjadi jalan raya di Pangkalpinang menimbulkan perubahan wajah kota. Beberapa ruas yang dulunya diperuntukkan bagi rel kereta kini menjadi pasar dan jalur kendaraan bermotor. Pada titik tertentu, jalan trem bahkan berhimpitan dengan Jalan Jenderal Sudirman sehingga sering menimbulkan kemacetan. Hal ini menunjukkan bagaimana warisan kolonial berubah fungsi mengikuti kebutuhan masyarakat modern.
Meski relnya sudah lenyap, nama “Jalan Trem” tetap melekat dalam ingatan warga Pangkalpinang. Bahkan, kawasan di sisi timur lintasan dulu dikenal dengan sebutan Trem Seberang, yang kemudian berkembang menjadi kampung dengan identitas khas.
Beberapa peninggalan fisik dari era trem masih bisa disaksikan hingga hari ini. Lokomotif uap yang dahulu menarik gerbong bijih timah kini tersimpan di halaman Museum Timah Indonesia di Pangkalpinang serta di taman kota Mentok. Salah satunya adalah loko produksi Marshall Sons & Co Limited, Gainsborough, Inggris, tahun 1908. Kehadiran benda bersejarah ini menjadi saksi bisu kejayaan timah Bangka di masa lalu.
Jejak jalan trem juga terekam dalam toponimi kampung di Bangka. Misalnya, Kampung Terak yang namanya berasal dari “terak” atau sisa peleburan logam, serta Kampung Kereta atau Kreta yang tumbuh di kawasan yang terhubung dengan jalur kereta api mini. Nama-nama ini memperlihatkan bagaimana aktivitas tambang dan transportasi kolonial membentuk identitas geografis dan sosial masyarakat Bangka.
Kisah jalan trem di Bangka bukan hanya cerita tentang rel besi dan lokomotif uap. Lebih jauh, ia adalah potongan sejarah yang menggambarkan perubahan besar dalam teknologi, ekonomi, dan kehidupan sosial masyarakat. Dari tanur Cina hingga oven modern, dari kereta surong hingga trem uap, semua itu menandai perjalanan panjang Bangka sebagai penghasil timah dunia.
Meski jalur trem telah hilang, jejaknya masih hidup dalam nama kampung, koleksi museum, dan ingatan masyarakat.
Sumber : Dato’ Akhmad Elvian, DPMP – Sejarawan dan Budayawan, Bangka Belitung